WELCOME

WELCOME TO MY BLOG.
I HOPE YOU LIKE IT AND COMMENT MY BLOG,
please

Sabtu, 11 Juni 2011

assalamualaikum wr. wb.

Selasa, 12 Oktober 2010

SALAM.........................

ASSALAMUAKAIKUM WR. WB

Hai,,,,,,,,,,,
lama g jumpa ya,,,
yah,,, itu semua karena kita mungkin tak memiliki inspirasi untuk ditulis dalam blog ini,,, ya memang inspirasi tak selalu datang saat kita memerlukannya.


KETIKA TAK ADA INSPIRASI

Inspirasi merupakan sesuatu yang sangat
berpengaruh dalam sebuah karangan, tanpa inspirasi mustahil ada sebuah karangan, tetapi ide tersebut tidak selalu ada saat kita ingin mengarang.

Terkadang kita sangat mudah untuk menemukan sebuah ide untuk suatu cerita tapi sering kali saat kita menginginkannya tak ada satupun ide yang datang. Mungkin itu karena pikiran dan konsentrasi yang dibutuhkan tidak mendukung untuk menyelesaikan satu karangan saja,,,

Tak jarang kita memiliki inspirasi tetapi sulit untuk menuangkannya, itu juga dipengaruhi oleh kelemahan konsentrasi dan pengembangan ide yang kita lakukun. Untuk mengatasi semua itu mungkin dapat kita lakukan,

JIKA TAK ADA INSPIRASI

1. Tenangkan pikiran
2. Hilangkan sesuatu yang mengganjal pikiran anda
3. Bayangkan sesuatu terjadi padamu
4. Kembangkan terus bayanganmu
5. Pahami yang kau bayangkan
6. Jika sudah menemukan dan memahami alur ceritanya tulislah dan kembangkan menjadi suatu karangan yang menarik.

JIKA SULIT MENUANGKAN INSPIRASI

1. Tenangkan pikiran
2. Konsentrasikan pikiranmu
3. Pahami ide yang telah kau temukan
4. Kembangkan menjadi sebuah cerita dan buatlah alurnya yang menarik
5. Tulis dan kembangkan menjadi sebuah karangan yang menarik sesuai dengan idemu.

Yupz, mungkin ini banyak kekurangan tetapi cukup membantu jika dalam keadaan seperti itu, sangat besar harapan saya bila pembaca berkenan memberi masukan, so ku tunggu komentnya,,,,,

Wassalamualaikum wr. wb

Senin, 19 April 2010

CALEG ( revisi )

karya Maya Istafada OA

Greet, greet, suara ponselku yang membuatku terbangun dari tidur siang nyenyakku. Di layar ku lihat nama Rasti, adik bungsuku.

“Halo Ti, ada apa?”

“Bang, Mas Rudi ngamuk, dia histeris. Sekarang dia dibawa ke RSJ.”

“Ha, masak? Ngaco kamu,”

“Beneran bang.”

“Ya sudah, abang kesana.”

Mas Rudi adalah kakak sepupu kami, yang tahun lalu mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerah kami. Dia mulai mengamuk ketika dia tahu kalau dirinya tidak bisa menjadi anggota DPRD kabupaten kami. Dia adalah satu dari ratusan bahkan ribuan pencalon yang mengalami depresi cukup berat karena kegagalan dalam menggapai impian menjadi anggota legislatif.

Sebelumnya, banyak dari kami yang menasehatinya agar tidak mencalonkan dirinya. Kami menganggap Mas Rudi hanya akan mengikuti jejak para pendahulu yang gagal menjadi legislatif yang akhirnya mengalami depresi berat hingga ada yang nekat bunuh diri. Periode lalu kami trauma atas meninggalnya kerabat kami yang juga karena hal serupa, dia nekat gantung diri di kebun cabai. Dengan seutas tali yang ia kaitkan ke pohon mangga, ia mengakhiri hidupnya.

Kini hal yang kami takutkan pun terjadi, mas Rudi jadi depresi dan menjadi stress seerti ini. Akhir-akhir ini mas Rudi sering mengamuk bahkan dia pernah juga mau mencekek leher Surti, pemantu rumah mas Rudi.

Mngkin inilah yang membuat Om Haryo, ayah Mas Rudi untuk mengambil keputusan yang saya pribadi kurang setuju.
* * *

Di RSJ itu ku temui keluarga Om Haryo, ayah Mas Rudi. Tampaknya mereka begitu sedih hanya Om Haryo yang tampak tak begitu sedih, bahkan ia terlihat seperti orang yang sedang emosi, hanya dia sedikit menghibur Tante Rusmi yang tampaknya sedih meratapi nasib anak sulungnya. Dia tak henti-hentinya mengucurkan air mata melihat putranya di ikat dengan tali.

Ku temui Om Haryo, ku mulai ajak dia bercakap-cakap

“Om, bagaimana ini?”

“Ya, ini salah dia sendiri, sudah di larang, tapi kamu tahu masmu itu keras kepala.”

“Ya, tapi kasihan dia, om.”

“Itu resikonya, milyaran rupiah dia keluarkan, tapi apa yang dia dapat? Malah jadi stres gini bikin malu keluarga saja.”

Memang ku dengar uang yang dia habiskan saat itu mencapai enam milyar rupiah. Dia bekerja mati-matian untuk mendapatkan uang itu, tapi dalam sekejap uang itu habis tanpa guna yang berarti yang mengakibatkannya gila.

Aaa,,,a,,,. Ku dengar teriakan Mas Rudi, dia teriak minta dilepaskan. Kami berlari menuju tempatnya. Dengan reflek Om Haryo memarahinya.

“He, Rudi kamu ini kenapa? Tidak usah teriak-teriak, bikin malu saja.”

“Pa, lepasin aku, aku tidak gila!”

“He, kalau kamu tidak gila kenapa kamu ngamuk ha? Sudah tidak usah teriak lagi, kamu saya tinggal di sini, papa masih banyak urusan.”

Aku mengerti perasaan Om Haryo, aku tahu dia kecewa, marah, malu, tapi apa sampai hati dia meninggalkan putra sulungnya di kamar kecil, pengap dan di penuhi orang-orang gila yang kapanpun bisa menyakiti mas Rudi.

Begitupun Mas Rudi, dia juga menyesal. Pernah suatu hari dia bercakap padaku.

“Adi, sebenarnya aku menyesal sekali, aku tahu aku ini bikin aib keluarga, bikin keluarga susah, aku ingin mati saja, di”

“Mas, mas ini kok bicara begitu, mas bisa mengejar kesuksesan dengan cara lain, mas bisa buka usaha, ingat mas masa depan mas itu masih panjang.”

“Di, masa depan apa? Masa depan suram?”

“Ya, kamu kan bisa buka usaha?

“Usaha apa? modal darimana? Kamu tahu semua uangku ludes, hampir enam milyar hasil kerjaku bertahun-tahun tak tersisa karena kemaren.”

Aku tahu banyak uang yang dia bagikan pada masyarakat, dengan harapan dia terpilih jadi anggota legislatif, tapi dia malah menjadi seperti ini.
* * *

Aku tak tega melihat Mas Rudi terpuruk di kamar pengap ini, aku mengerti dia sangat tersiksa di kamar kecil ini.

Perubahan fasilitas yang sangat drastis dialami oleh Mas Rudi,. Dia yang awalnya tinggal di rumah megah dan mewah serta kamarnya yang luas bersih, rapi dan penuh barang-barang mewah, kini dia harus tinggal di kamar kecil ini.

Hanya aku dan Tante Rusmi yang sering menjenguknya, aku merasa penderitaan Mas Rudi bertambah berat seiring minimnya dukungan dari keluarga. Maka aku sempatkan waktuku untuk sesekali menengoknya.

Hari ini aku menengoknya, aku seketika kaget melihat keadaan Mas Rudi, tubuhnya penuh sayatan, biru bekas pukulan serta tubuh yang dulunya kekar berotot kini jadi kurus kerempeng.

“Ya, Allah keadaan mas kok, bisa jadi begini?”

“Adi, aku mau keluar dari sini!”

“Iya, aku juga tak tega melihat keadaan mas.”

“Bilang sama papa, aku menderita dan sakit disini.”

“Ya, baiklah aku akan telfon Om Haryo.”

Aku ambil ponselku, aku beranjak keluar untuk menelfon Om Haryo.

“Halo, assalamualaikum, ada apa Di?”

“Waalaikumussalam, Om begini, keadaan Mas Rudi sngat memprihatinkan, dia jadi kurut kerempeng dan ditubuhnya banyak luka.”

“O, kalau itu sampaikan saja pada dokternya!”

“Tapi sepertinya Mas Rudi sangat menderita om, apa tidak sebaiknya dia di bawa pulang dan di rawat di rumah saja?”

“Tidak. Dia hanya akan membuat keluarga malu saja.”

“Ya, saya tahu tapi, keadaannya sangat parah, bagaimana kalau dia di bawa ke RSJ yang lebik baik saja?”

“Adi, apa yang akan dikatakan tetangga kalau mereka tau Rudi dipindahkan, pasti mereka ngira gila rudi memang parah.”

“Tapi om, ini buat kebaikan putra om sendiri.”

“Pokoknya tidak, maaf om sibuk, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku tak menyangka Om Haryo begini pada putranya, tapi apa yang bisa ku lakukan aku hanya bisa menengok Mas Rudi saja, aku tak bisa memindahkannya karena aku hanya sepupu dari Mas Rudi.

Ku coba menemui petugas RSJ ini, ku tanya apa yang sebenarnya terjadi. Benar saja dugaanku Mas Rudi menyiksa diri dan dia juga selalu menolak untuk minum obat.

Kehawatiranku makin menjadi, aku yakin keadaan Mas Rudi akan makin parah kalau dia tak mau minum obat itu.
Aku juga yakin kalau keadaan Mas Rudi akan makin parah bila dia terus berada di sini. Batinnya akan semakin tertekan mengingat keadaan dan suasana RS ini yang sangat jauh dari kehidupan normal Mas Rudi.

Aku terus mengabarkan keadaan ini pada semua anggota keluarga, di sini mereka ikut bersedih tapi, tak ada bandingnya terhadap kesedihan Tante Rusmi yang terus menangis dan hampir pingsan mendengar kabar yang ku bawa tentang keadaan Mas Rudi.
* * *

Setelah berunding kami memutuskan untuk membicarakan ini pada Om Haryo lebih serius dan mumgkin bisa di bilang sedikit memaksanya.

Aku bersyukur sekali setelah melalui proses pembujukan akhirnya hati Om Haryo luluh juga, kami sepakat esok kami akan memindahkan Mas Rudi ke RSJ yang lebih canggih.

Setelah mengurus administrasi kami akan segera memindahkan ke RSJ Panti Mulya, salah satu RSJ terbaik di Indonesia.

“Om, kita tidak jemput Mas Rudi dulu?”

“Oh, ya. Ayo kita kesana.”

Kami menyusuri jalanan di RS itu, akhirnya sampailah kami ke kamar Mas Rudi. Ku buka pintu kamar itu.

“Assalamualaikum.”

Tak ada jawaban, padahal setiap kali ku menengoknya selalu dia menjawab salamku, tapi kenapa hari ini tidak? Toh, ku lihat dia terjaga. Kami mendekatinya ku coba untuk berbicara padanya.

“Mas, yuk kita pergi.”

Hanya lirikan mata yang ekspresif ku dapatkan serta perkataan yang tak ku mengerti, baru sesaat kemudian ku sadari,

“Astaghfirullah, om, tante, Mas Rudi tak mampu berbicara lagi.”

“Apa, tidak mungkin, tante tidak percaya.”

“Tapi inilah kenyataannya,”

“Tapi bagaimana bisa?”

“Mungkin, karena beberapa tekanan dan perasaan tidak nyaman sehingga dia bisa begini. Sepertinya dia juga sering menyiksa diri.”

“Oh, putraku kenapa bisa begini?”

Tante Rusmi terus menangis, dia tidak rela anaknya jadi seperti ini. Tapi inilah nyatanya , keadaan Mas Rudi menjadi benar-benar seperti anak idiot yang tak mampu berbicara dan tak mampu melakukan aktifitas apapun.

Kami benar-benar merasa terpukul atas nasib malang Mas Rudi. Om Haryopun begitu menyesal telah terlambat mengambil keputusan, ia juga menyesal telah menolak saran-saranku, tapi apa daya nasi telah menjadi bubur, penyesalan juga selaludatang terlambat. Keluarganyapun harus mengeluarkan uang lebih untuk perawatan Mas Rudi. Mereka menyewa perawat yang harus merawat Mas Rudi, perlu waktu lama untuk menyembuhkan Mas Rudi, hal ini makin menjadikan kesedihan bagi keluarga.

Om Haryo benar-benar menyesali keputusan yang diambilnya dulu, tapi semua itu telah terjadi, mungkin ini akan menjadi pelajaran berharga untuk keluarga Om Haryo dan kita semua.

Rabu, 07 April 2010

CALEG

karya Maya Istafada OA

Greet, greet, suara ponselku yang membuatku terbangun dari tidur siang nyenyakku. Di layar ku lihat nama Rasti, adik bungsuku.
“Halo Ti, ada apa?”

“Bang, Mas Rudi ngamuk, dia histeris sekarang dia dibawa ke RSJ.”

“Ha, masak? Ya sudah abang kesana segera.”

Mas Rudi adalah kakak sepupu kami, yang tahun lalu mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerah kami. Dia mulai mengamuk ketika dia tahu kalau dirinya tidak bisa menjadi anggota DPRD kabupaten kami. Dia adalah satu dari ratusan bahkan ribuan pencalon yang mengalami depresi cukup berat karena kegagalan dalam menggapai impian menjadi anggota legislatif.

Sebelumnya, banyak dari kami yang menasehatinya agar tidak mencalonkan dirinya. Kami menganggap Mas Rudi hanya akan mengikuti jejak para pendahulu yang gagal menjadi legislatif yang akhirnya mengalami depresi berat hingga ada yang nekat bunuh diri. Periode lalu kami trauma atas meninggalnya kerabat kami yang juga karena hal serupa, dia nekat gantung diri di kebun cabai. Dengan seutas tali yang ia kaitkan ke pohon mangga, ia mengakhiri hidupnya.

Di RSJ itu ku temui keluarga Om Haryo, ayah Mas Rudi. Tampaknya mereka biasa-biasa saja, hanya dia sedikit menghibur Tante Rusmi yang tampaknya sedih seorang diri meratapi nasib anak sulungnya. Dia tak henti-hentinya mengucurkan air mata melihat putranya di ikat dengan tali.

Ku temui Om Haryo, ku mulai ajak dia bercakap-cakap
“Om, bagaimana ini?”

“Ya, ini salah dia sendiri, sudah di larang, tapi kamu tahu masmu itu keras kepala.”

“Ya, tapi kasihan dia, om.”

“Itu resikonya, milyaran rupiah dia keluarkan, tapi apa yang dia dapat? Malah jadi stres gini bikin malu keluarga saja.”

Memang ku dengar uang yang dia habiskan saat itu mencapai enam milyar rupiah. Dia bekerja mati-matian untuk mendapatkan uang itu, tapi dalam sekejap uang itu habis tanpa guna yang berarti yang mengakibatkannya gila.

Aaa,,,a,,,. Ku dengar teriakan Mas Rudi, dia teriak minta dilepaskan. Kami berlari menuju tempatnya. Dengan reflek Om Haryo memarahinya.

“He, Rudi kamu ini kenapa? Tidak usah teriak-teriak, bikin malu saja.”

“Pa, lepasin aku, aku tidak gila!”

“He, kalau kamu tidak gila kenapa kamu ngamuk ha? Sudah tidak usah teriak lagi, kamu saya tinggal di sini, papa masih banyak urusan.”

Aku mengerti perasaan Om Haryo, aku tahu dia kecewa, marah, malu, tapi apa sampai hati dia meninggalkan putra sulungnya di kamar kecil, pengap dan di penuhi orang-orang gila yang kapanpun bisa menyakiti mas Rudi.

Begitupun Mas Rudi, dia juga menyesal. Pernah suatu hari dia bercakap padaku.

“Adi, sebenarnya aku menyesal sekali, aku tahu aku ini bikin aib keluarga, bikin keluarga susah, aku ingin mati saja, di”

“Mas, mas ini kok bicara begitu, mas bisa mengejar kesuksesan dengan cara lain, mas bisa buka usaha, ingat mas masa depan mas itu masih panjang.”

“Di, masa depan apa? Masa depan suram?”

“Ya, kamu kan bisa buka usaha?

“Usaha apa? modal darimana? Kamu tahu semua uangku ludes, hampir enam milyar hasil kerjaku bertahun-tahun tak tersisa karena kemaren.”

Aku tahu banyak uang yang dia bagikan pada masyarakat, dengan harapan dia terpilih jadi anggota legislatif, tapi dia malah menjadi seperti ini.
* * *

Aku tak tega melihat Mas Rudi terpuruk di kamar pengap ini, aku mengerti dia sangat tersiksa di kamar kecil ini.

Perubahan fasilitas yang sangat drastis dialami oleh Mas Rudi,. Dia yang awalnya tinggal di rumah megah dan mewah serta kamarnya yang luas bersih, rapi dan penuh barang-barang mewah, kini dia harus tinggal di kamar kecil ini.

Hanya aku dan Tante Rusmi yang sering menjenguknya, aku merasa penderitaan Mas Rudi bertambah berat seiring minimnya dukungan dari keluarga. Maka aku sempatkan waktuku untuk sesekali menengoknya.

Hari ini aku menengoknya, aku seketika kaget melihat keadaan Mas Rudi, tubuhnya penuh sayatan, biru bekas pukulan serta tubuh yang dulunya kekar berotot kini jadi kurus kerempeng.

“Ya, Allah keadaan mas kok, bisa jadi begini?”

“Adi, aku mau keluar dari sini!”

“Iya, aku juga tak tega melihat keadaan mas.”

“Bilang sama papa, aku menderita dan sakit disini.”

“Ya, baiklah aku akan telfon Om Haryo.”

Aku ambil ponselku, aku beranjak keluar untuk menelfon Om Haryo.

“Halo, assalamualaikum, ada apa Di?”

“Waalaikumussalam, Om begini, keadaan Mas Rudi sngat memprihatinkan, dia jadi kurut kerempeng dan ditubuhnya banyak luka.”

“O, kalau itu sampaikan saja pada dokternya!”

“Tapi sepertinya Mas Rudi sangat menderita om, apa tidak sebaiknya dia di bawa pulang dan di rawat di rumah saja?”

“Tidak. Dia hanya akan membuat keluarga malu saja.”

“Ya, saya tahu tapi, keadaannya sangat parah, bagaimana kalau dia di bawa ke RSJ yang lebik baik saja?”

“Adi, apa yang akan dikatakan tetangga kalau mereka tau Rudi dipindahkan, pasti mereka ngira gila rudi memang parah.”

“Tapi om, ini buat kebaikan putra om sendiri.”

“Pokoknya tidak, maaf om sibuk, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Aku tak menyangka Om Haryo begini pada putranya, tapi apa yang bisa ku lakukan aku hanya bisa menengok Mas Rudi saja, aku tak bisa memindahkannya karena aku hanya sepupu dari Mas Rudi.

Aku juga yakin kalau keadaan Mas Rudi akan makin parah bila dia terus berada di sini. Batinnya akan semakin tertekan mengingat keadaan dan suasana Rs ini yang sangat jauh dari kehidupan normal Mas Rudi.

Aku terus mengabarkan keadaan ini pada semua anggota keluarga, di sini mereka ikut bersedih tapi, tak ada bandingnya terhadap kesedihan Tante Rusmi yang terus menangis dan hampir pingsan mendengar kabar yang ku bawa tentang keadaan Mas Rudi.
* * *

Setelah berunding kami memutuskan untuk membicarakan ini pada Om Haryo lebih serius dan mumgkin bisa di bilang sedikit memaksanya.

Aku bersyukur sekali setelah melalui proses pembujukan akhirnya hati Om Haryo luluh juga, kami sepakat esok kami akan memindahkan Mas Rudi ke RSJ yang lebih canggih.

Setelah mengurus administrasi kami akan segera memindahkan ke RSJ Panti Mulya, salah satu RSJ terbaik di Indonesia.

“Om, kita tidak jemput Mas Rudi dulu?”

“Oh, ya. Ayo kita kesana.”

Kami menyusuri jalanan di RS itu, akhirnya sampailah kami ke kamar Mas Rudi. Ku buka pintu kamar itu.

“Assalamualaikum.”

Tak ada jawaban, padahal setiap kali ku menengoknya selalu dia menjawab salamku, tapi kenapa hari ini tidak? Toh, ku lihat dia terjaga. Kami mendekatinya ku coba untuk berbicara padanya.

“Mas, yuk kita pergi.”

Hanya lirikan mata yang ekspresif ku dapatkan serta perkataan yang tak ku mengerti, baru sesaat kemudian ku sadari,

“Astaghfirullah, om, tante, Mas Rudi tak mampu berbicara lagi.”

“Apa, tidak mungkin, tante tidak percaya.”

“Tapi inilah kenyataannya,”

“Tapi bagaimana bisa?”

“Mungkin, karena beberapa tekanan dan perasaan tidak nyaman sehingga dia bisa begini. Sepertinya dia juga sering menyiksa diri.”

“Oh, putraku kenapa bisa begini?”

Tante Rusmi terus menangis, dia tidak rela anaknya jadi seperti ini. Tapi inilah nyatanya , keadaan Mas Rudi menjadi benar-benar seperti anak idiot yang tak mampu berbicara dan tak mampu melakukan aktifitas apapun.

Kami benar-benar merasa terpukul atas nasib malang Mas Rudi. Om Haryopun begitu menyesal telah terlambat mengambil keputusan, ia juga menyesal telah menolak saran-saranku, tapi apa daya nasi telah menjadi bubur, keluarganyapun harus mengeluarkan uang lebih untuk perawatan Mas Rudi. Mungkin ini akan menjadi pelajaran berharga untuk keluarga Om Haryo dan kita semua.

Rabu, 17 Maret 2010

Catwalk ( revisi )

Cerpen karya Maya Istafada OA

Dor, dor, suara ledakan yang tiba - tiba ku dengar membuatku menjerit histeris, menangis dan akhirnya pingsan. Peristiwa ini mengingatkanku terhadap sebuah peristiwa yang membuatku trauma sampai sa-at ini,peristiwa itu terjadi sekitar empat tahun lalu.

Ketika itu, aku mendapatkan job untuk memeragakan busana karya desainer terkemuka. Aku menyiapkan gaun yang hendak ku pakai. Aku merasaa sangat bangga mengenakan gaun mewah, rancangan desainer yang telah melebarkan sayapnya ke kancah Internasional.

Musik disko dan lampu bermacam warna serta gaun mewah yang kami kenakan menambah suasana glamour malam itu. Tata rias serta make up tebal yang merekan di wajah kami, menggambarkan gaya hidup western yang kita tiru. Dengan memegang gelas berisi minuman beralkohol yang dinikmati oleh pengunjung memper lihatkan suasana pesta budaya barat. Hingga acara dimulai mereka yang berpakaian seksi dengan sedikit membuka bagian tubuhnya menikmati musik disko dan menari ria bersama pasangan masing-masing.

Setelah semua siap, sekitar pukul 21.00 barulah acara dimulai, dengan urutan yang teratur mulailah kami mulai menyusuri catwalk, dengan hak tinggi kami sehingga terciptalah bunyi hasil pertemuan hak sepatu kami dengan catwalk putih bening sehingga terlihatlah bayangan kami di catwalk tersebut.

Aku, Shally. Begitu sapaan akrabku. Sebagai urutan terakhir, aku harus berjalan ke segala arah untuk menunjukkan karya busana teristimewa. Dengan gaun berwarna putih berkilau yang indah dengan sepatu hak tinggi berwarna silver bercahaya membuatku terlihat lebih anggun. Memang busana itu begitu cocok ku gunakan di tubuh ramping, tinggi nan seksi yang ku miliki.

Tibalah semua model berdiri bersama memperlihatkan gaun – gaun mewah itu. Ku berdiri di barisan depan, tengah. Sehingga aku terlihat sangat jelas. Senyum yang merekah dari pragawati memperindah suasana. Tapi, dalam sekejap suasana itu lenyap bak di telan bumi, ketika terdengar satu tembakan teror yang membuat semua orang panik dan berhamburan keluar.

Keadaanpun mulai menenang. Di sebuah ruangan khusus, kami menikmati hidangan yang tersedia seraya beristirahat sejenak. Karena, takut akan kejadian tadi, kami memutuskan keluar dan pulang.

Kami berpamitan dengan saling bersalaman. Tapi, sesuatu yang tak kami duga terjadi. Terjadi sebuah ledakan keras yang membuat ruangan sebelah hancur. Tak begitu kuat, memang. Sehingga, tidak ada korban jiwa, hanya sedikit luka yang dialami rekan – rekanku. Dan itu membuatku trauma sampai saat ini.
* * *

Aku mencoba untuk melupakan itu. Aku memulai lagi aktifitasku yang kebetulan hari ini banyak sekali pemotretan dan ada juga syuting video klip bersama band papan atas.

Ketika pembuatan klip sebuah lagu, ku kenakan kembali gaun indah malam itu. Memang, keanggunan ku dapat kembali. Tapi, mengapa teror itu datang lagi. Tembakan keras yang membuat semua berantakan serta membuatku berteriak histeris dan akhirnya pingsan.

Aku tak tahu bagaimana keadaan selanjutnua. Ketika aku tersadar, aku telah berada di sebuah rumah sakit. Aku di temani Evi, managerku. Dan disini aku membuah keputusan yang memang berat, dan aku yakin aku tidak bisa meninggalkan semua. Tapi, itu harus ku lakukan demi keselamatan jiwaku.

Tak ada satupun keluarga yang ada di sisiku, memang tak satupun keluargaku yang setuju dengan profesiku. Mereka labih ingin aku menjadi pebisnis atau politikus yang berkedudukan di Senayan untuk memimpin negeri ini. Semua itu tak dapat ku penuhi karena darah yang mengalir adalah darah seni yang aku merasa ku tak mampu berkecimpung di dunia bisnis atau politik, walau telah banyak selebritis yang mencoba menggelutinya.

Aku tahu ini konsekuensi yang harus ku terima sebagai publik figur, teror – teror yang membuatku merasa terancam akan keselamatanku. Aku harus menghentikan ini semua, demi keamanan jiwaku. Aku membuat sebuah keputusan yang berakibat fatal. Tapi aku harus melakukannya. Dan kusampaikan ini pada managerku.
“Vi, aku mau berhenti.”
“What ? berhenti ? Kamu yakin?”
“Ya, aku yakin.”
“Tapi kenapa, kamu sadar apa akibatnya ?” “Ya, aku takut kajadian itu.”
“Ya. Tapi, kamu terikat kontrak dengan beberapa label. Kamu bisa di tuntut lho ?”
“Ya, aku siap dengan semua akibatnya kok.”
“Tapi, Shall.., kamu akan kehilangan semua, dituntut banyak label, dan kamu akan jatuh miskin. Pokoknya aku tidak setuju.”
“Baiklah, aku mengerti. Tapi bagaimana dengan teror itu?”
“Shall, itu hal yang biasa dialami oleh seleb, apa lagi yang lagi naik daun.”
“Ya tapi itu dua kali, berurutan lagi.”
“Ya, aku juga tahu, toh lama – lama peneror itu juga lelah, pokoknya tidak usah diurusinlah!”
“Huh, ok, aku nurut saja sama kamu.”
“Ya, itu memang yang terbaik.”

Karena keadaanku yang tidak terlalu parah, aku cepat dibawa pulang dan benar saja, di depan rumahku banyak wartawan yang menunngu. Akupun di timbuki dengan berbagai pertanyaan seputar teror – teror yang aku alami yang membuatku pusing. Tanpa ku pedulikan mereka, ku tinggalkan mereka tanpa sedikitpun komentar.
* * *
Ku mulai aktifitasku seperti biasa,ku lupakan semua teror itu. Berbagai kontrak kembali kusetujui, mulai dari striping, peragaan busana, foto majalah dan lain – lain ku jalani.

Tepat pukul 08.00 aku menuju ke lokasi syuting. Sesampainya ku disambut hangat oleh teman – taman, grreeet, grreeet suara HP ku, ku buka ada banyak banget SMS masuk. Ku buka satu per satu SMS itu, seketika mataku terbelalak melihat sebuah SMS yang mengancam akan menyebarkan foto – foto yang mungkin sedikit bugil, bila aku tidak memberinya uang sebesar Rp 100.000.000,00.

Sungguh aku takut dengan ancaman itu, aku juga tidak mengerti dengan foto itu, bagaimana bisa dia mendapatkan foto itu, padahal aku tidak pernah merasa berfoto seperti itu.
Ku turuti, semua permintaan peneror itu. Tapi dia kembali mengancam akan membunuhku, dia kembali memerasku, kali ini dia meminta uang sebesar Rp 1000.000.000,00, tentu aku sangat tidak rela melepaskan uang sebesar itu.

Dengan mendatangi serta melaporkan kejadian itu, polisi memberiku rencana dengan menjebak pelaku itu. Tanpa terekpos oleh wartawan kami berhasil menangkap peneror itu.

Sungguh tak ku sangka seseorang yang aku kenal baik, dialah Dony, orang yang pernah melamarku namun ku tolak, tega menerorku dan memerasku ,dengan alasan karena sakit hati.

Dengan terpaksa aku penjarakan dia, tapi dia tetap mengancam akan membunuhku dengan menyuruh anak buahnya.

Aku benar – benar takut aku kembali memutuskan untuk berhenti dari entertaint, dan aku sampaikan ini pada menejerku dan aku tahu pasti dia tidak menyetujuinya.
“Evi, kali ini aku benar – benar mau berhenti”
“Shell, jangan bercanda deh.”
“Aku serius.”
“Hah, pasti karena Dony deh, kenapa?”
“Ya, karena aku trauma.”
“Aku tetap tidak setuju.”
“Terserah, tapi aku mau berhenti.”
“Kamu tahu konsekuensinya?”
“Ya, aku tidak peduli.”
“Ya sudah terserah kamu.”

Setelah ku berhenti, tak ku sangka begitu banyak tuntutan yang mereka tujukan padaku, bermilyar – milyar uang hasil jerih payahku lenyap untuk membayar denda karena pemutusan kontrak secara sepihak yang ku lakukan. Aku benar – benar kehilangan semuanya.

Aku benar – benar terpuruk, aku putuskan untuk pergi dari kota Jakarta yang penuh hura – hura ini. Dengan sedikit sisa hasil kerjaku, ku putusksn untuk pindah ke Bandung, daerah yang sejuk, bernuansa hijau berhiaskan kebun teh yang mungkin membuatku lebih tenang.
* * *

Di sebuah desa di Bandung, aku mulai profesi baruku. Dengan susah payah ku dapatkan sebuah pekerjaan menjadi seorang guru seni di sebuah SMPN di Bandung. Aku sangat senang dan bangga terhadap pekerjaan baruku ini. Dengan semangat menggelora ku mulai melangkahkan kakiku dengan keyakinan dan keteguhan penuh ku mulai hari pertamaku mengajar.

Tepat pukul 06.00, ku lewati jalan setapak yang naik turun, berbatu runcing serta terjal ku lewati dangan jalan kaki untuk menuju ke sekolah. Sedikit susah memang dengan sepatu hak tinggiku untuk melewati jalan licin itu.

Berkali – kali ku terkilir dan jatuh bangun untuk mencapai ke sekolah, akhirnya ku temukan sebuah SMPN bercat biru yang mulai memudar, berhalaman becek yang seharusnya direnovasi karena jauh dari kelayakan sekolah negeri di Jakarta.

Dengan sedikit ragu ku ayunkan langkahku memasuki area sekolah, dengan pelan ku tapakkan hak tinggiku di halaman becek itu.begitu hati – hati ku melangkah tapi tiba – tiba, Plakk!!!. Sebuah bola sepak yang terbuat dari plastik penuh lumpur mengenai baju putih bersihku.
“Aw...”
“Maaf Teh,.”
dengan hanya mengucapkan maaf dia berlalu begitu saja meninggalkanku yang terdiam membisu.

Setelah ku bersihkan bajuku yang kotor terkena lumpur di sebuah kamar mandi sekolah yang kotor,gelap, kumuh serta berbau pesing menyengat, aku lansung menuju kelas yang pertama ku ajar.

Di kelas VIII C aku mulai mengajar, kelas bergedung cukup tua namun cukup bersih yang mungkin sering dibersihkan oleh siswanya. Ku mulai memperkenalkan diriku.
“Pagi, anak – anak...”
“Pagi bu...”
“Perkenalkan, ibu guru baru disini, nama ibu Aura Shally Rahma. Ibu dari Jakarta dan bisa di panggil ibu Shally.
“Ya, bu Shally...”
“Ada pertanyaan?”
“Ada bu.”
“Iya silahkan,. “
“Ibu teh ngajar seni ya?”
“Iya nanti ibu akan mengajari kalian main musik, tari, menyanyi atau bisa juga seni Pragawan atau Pragawati, mau tidak?
“Ya bu, “

Sambutan hangat dari mereka menambah samangatku untuk mengajar, ku awali dengan mengajari mereka bermain organ, aku memang cukup lihai memainkannya. Walau dengan keyboard tua mareka sangat antusias mempelajarinya.
* * *
Hari – hari ku lewati dengan mengabdikan diriku untuk mengajar, memang sedikit hasilnya tapi aku cukup menikmatinya.Walau perlu perjuangan ekstra untuk mencapai Sekolah itu.

Hari ini ku ajak anak didikku untuk melukis keindahan alam sekitar, ku ajak mereka ke kebun teh sebelah sekolah kami. Semangat mereka terlihan ketika ku sampaikan rencanaku yang mereka sambut dengan bersorak ria.

Ku amati mereka, hasilnya cukup bagus untuk anak pemula hingga tiba – tiba aku dikagetkan oleh banyak wartawan yang tiba – tiba datang menemukanku, langsung saja mereka menghujaniku dengan berbagai pertanyaan,
“Mbak Shally, kenapa mbak meninggalakan dunia entertaint?”
“Nggak papa ya...,”
“Mbak Shally, apa ini ada hubungannya dengan teror itu?”
“Maaf, sekali lagi maaf. Kasihan murid – murid saya..”

Ku tinggalkan mereka dengan berlari menuju ke sekolah, tapi mengapa dengan tiba – tiba , Dor, sebuah tembakan yang aku merasa benar – benar di tujukan padaku. Tapi untuk saja meleset dan akhirnya ku pingsan.

Ku buka mataku, ternyata ku berada di rumahku, ku berlari keluar ku lihat peneror itu beradu tembak dengan polisi. Setelah beberapa kali mencoba melawan, peneror yang sempat membuat kualahan para polisi itu berhasil di tembak, yang di takdirkan menghembuskan nafas terakhirnya saat ini juga.

Ku lihat peneror itu, seketika aku syok, Dony? Aku tak mengerti kenapa dia bebas. Setelah aku bertanya pada polisi ternyata dia kabur dari penjara, dia juga telah membunuh salah seorang petugan penjaga penjara. Aku tak menyangka Dony senekat itu.

Bagaimanapun aku tersenyum lega, tapi tiba – tiba ku dengar jeritan tangis dari seorang warga, ternyata seorang siswi ku terkena tembakan dan akhirnya meninggal dunia. Tak dapat ku tahan tangisku yang meledak, keluarga korban memang sangat tabah, mereka menerima nasib tragis putrinya itu.

Setelah acara pemakaman yang di hadiri banyak orang yang sedih seakan kehilangan pahlawan yang sangat berjasa mewarnai acara pemakaman aku memutuskan seluruh biaya mulai mdari perawatan jenazah hingga selamatanpun ku tanggung, karena ku merasa akulah orang yang paling bertanggung jawab atas insiden ini.
* * *
Aku mulai lagi aktifitasku, aku merasa lebih baik dari sebelumnya bersama siswa – siswiku. Aku kembali mendapatkan kebahagiaan, keluargaku menerimaku kembali. Ku rasakan kedamaian yang lebih di banding waktu aku masih berlenggak lenggok di catwalk dulu, dan tak lupa ku sempatkan untuk menengok makam siswiku itu.

Kamis, 11 Maret 2010

Dari Catwalk

Cerpen karya Maya Istafada OA

Dor, dor, suara ledakan yang tiba - tiba ku dengar membuatku menjerit histeris, menangis dan akhirnya pingsan. Peristiwa ini mengingatkanku terhadap sebuah peristiwa yang membuatku trauma sampai sa-at ini,peristiwa itu terjadi sekitar empat tahun lalu.

Ketika itu, aku mendapatkan job untuk memeragakan busana karya desainer terkemuka. Aku menyiapkan gaun yang hendak ku pakai. Aku merasaa sangat bangga mengenakan gaun mewah, rancangan desainer yang telah melebarkan sayapnya ke kancah Internasional.

Musik disko dan lampu bermacam warna serta gaun mewah yang kami kenakan menambah suasana glamour malam itu. Tata rias serta make up tebal yang merekan di wajah kami, menggambarkan gaya hidup western yang kita tiru. Dengan memegang gelas berisi minuman beralkohol yang dinikmati oleh pengunjung memper lihatkan suasana pesta budaya barat. Hingga acara dimulai mereka yang berpakaian seksi dengan sedikit membuka bagian tubuhnya menikmati musik disko dan menari ria bersama pasangan masing-masing.

Setelah semua siap, barulah dimulai, dengan urutan yang teratur mulailah kami mulai menyusuri catwalk, dengan hak tinggi kami sehingga terciptalah bunyi hasil pertemuan hak sepatu kami dengan catwalk putih bening sehingga terlihatlah bayangan kami di catwalk tersebut.

Aku, Shally. Begitu sapaan akrabku. Sebagai urutan terakhir, aku harus berjalan ke segala arah untuk menunjukkan karya busana teristimewa. Dengan gaun berwarna putih berkilau yang indah dengan sepatu hak tinggi berwarna silver bercahaya membuatku terlihat lebih anggun. Memang busana itu begitu cocok ku gunakan di tubuh ramping, tinggi nan seksi yang ku miliki.

Tibalah semua model berdiri bersama memperlihatkan gaun – gaun mewah itu. Ku berdiri di barisan depan, tengah. Sehingga aku terlihat sangat jelas. Senyum yang merekah dari pragawati memperindah suasana. Tapi, dalam sekejap suasana itu lenyap bak di telan bumi, ketika terdengar satu tembakan teror yang membuat semua orang panik dan berhamburan keluar.

Keadaanpun mulai menenang. Di sebuah ruangan khusus, kami menikmati hidangan yang tersedia seraya beristirahat sejenak. Karena, takut akan kejadian tadi, kami memutuskan keluar dan pulang.

Kami berpamitan dengan saling bersalaman. Tapi, sesuatu yang tak kami duga terjadi. Terjadi sebuah ledakan keras yang membuat ruangan sebelah hancur. Tak begitu kuat, memang. Sehingga, tidak ada korban jiwa, hanya sedikit luka yang dialami rekan – rekanku. Dan itu membuatku trauma sampai saat ini.
* * *

Aku mencoba untuk melupakan itu. Aku memulai lagi aktifitasku yang kebetulan hari ini banyak sekali pemotretan dan ada juga syuting video klip bersama band papan atas.

Ketika pembuatan klip sebuah lagu, ku kenakan kembali gaun indah malam itu. Memang, keanggunan ku dapat kembali. Tapi, mengapa teror itu datang lagi. Tembakan keras yang membuat semua berantakan serta membuatku berteriak histeris dan akhirnya pingsan.

Aku tak tahu bagaimana keadaan selanjutnua. Ketika aku tersadar, aku telah berada di sebuah rumah sakit. Aku di temani Evi, managerku. Dan disini aku membuah keputusan yang memang berat, dan aku yakin aku tidak bisa meninggalkan semua. Tapi, itu harus ku lakukan demi keselamatan jiwaku.

Tak ada satupun keluarga yang ada di sisiku, memang tak satupun keluargaku yang setuju dengan profesiku. Mereka labih ingin aku menjadi pebisnis atau politikus yang berkedudukan di Senayan untuk memimpin negeri ini. Semua itu tak dapat ku penuhi karena darah yang mengalir adalah darah seni yang aku merasa ku tak mampu berkecimpung di dunia bisnis atau politik, walau telah banyak selebritis yang mencoba menggelutinya.

Aku tahu ini konsekuensi yang harus ku terima sebagai publik figur, teror – teror yang membuatku merasa terancam akan keselamatanku. Aku harus menghentikan ini semua, demi keamanan jiwaku. Aku membuat sebuah keputusan yang berakibat fatal. Tapi aku harus melakukannya. Dan kusampaikan ini pada managerku.
“ Vi, aku mau berhenti.”
“ What ? berhenti ? Kamu yakin?”
“ Ya, aku yakin.”
“ Tapi kenapa, kamu sadar apa akibatnya ?” “Ya, aku takut kajadian itu.”
“ Ya. Tapi, kamu terikat kontrak dengan beberapa label. Kamu bisa di tuntut lho ?”
“ Ya, aku siap dengan semua akibatnya kok.”
“ Tapi, Shall....”
“Biarlah. Sampaikan kepada semuanya. Dan batalin semua kontrak.”

Karena keadaanku yang tidak terlalu parah, aku cepat dibawa pulang dan benar saja, di depan rumahku banyak wartawan yang menunngu. Akupun di timbuki dengan berbagai pertanyaan yang membuatku pusing. Tanpa ku pedulikan mereka, ku tinggalkan mereka tanpa sedikitpun komentar.
* * *

tak ku sangka, begitu banyak tuntutan yang mereka tujukan padaku, bermilyar – milyar uang hasil jerih payahku lenyap untuk membayar denda karena pemutusan kontrak secara sepihak yang ku lakukan. Aku benar – benar kehilangan semuanya.

Aku benar – benar terpuruk, aku putuskan untuk pergi dari kota Jakarta yang penuh hura –hura ini. Dengan sedikit sisa hasil kerjaku, ku putusksn untuk pindah ke Bandung, daerah yang sejuk, bernuansa hijau berhiaskan kebun teh yang mungkin membuatku lebih tenang.

Di sebuah desa di Bandung, aku mulai profesi baruku. Dengan susah payah ku dapatkan sebuah pekerjaan menjadi seorang guru seni di sebuah SMPN di Bandung. Aku sangat senang dan bangga terhadap pekerjaan baruku ini. Dengan semangat menggelora ku mulai melangkahkan kakiku dengan keyakinan dan keteguhan penuh ku mulai hari pertamaku mengajar.

Ku lewati jalan setapak yang naik turun, berbatu runcing serta terjal ku lewati dangan jalan kaki. Sedikit susah memang dengan sepatu hak tinggiku untuk melewati jalan licin itu.

Berkali – kali ku terkilir dan jatuh bangun untuk mencapai ke sekolah, akhirnya ku temukan sebuah SMPN bercat biru yang mulai memudar, berhalaman becek yang seharusnya direnovasi karena jauh dari kelayakan sekolah negeri di Jakarta.

Dengan sedikit ragu ku ayunkan langkahku memasuki area sekolah, dengan pelan ku tapakkan hak tinggiku di halaman becek itu.begitu hati – hati ku melangkah tapi tiba – tiba, Plakk!!!. Sebuah bola sepak yang terbuat dari plastik penuh lumpur mengenai baju putih bersihku.
“ Aw...”
“ Maaf Teh,.”
dengan hanya mengucapkan maaf dia berlalu begitu saja meninggalkanku yang terdiam membisu.

Setelah ku bersihkan bajuku yang kotor terkena lumpur di sebuah kamar mandi sekolah yang kotor,gelap, kumuh serta berbau pesing menyengat, aku lansung menuju kelas yang pertama ku ajar.

Di kelas VIII C aku mulai mengajar, kelas bergedung cukup tua namun cukup bersih yang mungkin sering dibersihkan oleh siswanya. Ku mulai memperkenalkan diriku.
“ Pagi, anak – anak...”
“ Pagi bu...”
“ Perkenalkan, ibu guru baru disini, nama ibu Aura Shally Rahma. Ibu dari Jakarta dan bisa di panggil ibu Shally.
“ Ya, bu Shally...”
“ Ada pertanyaan?”
“ Ada bu.”
“ Iya silahkan,. “
“ Ibu teh ngajar seni ya?”
“ Iya nanti ibu akan mengajari kalian main musik, tari, menyanyi atau bisa juga seni Pragawan atau Pragawati, mau tidak?
“ Ya bu, “

Sambutan hangat dari mereka menambah samangatku untuk mengajar, ku awali dengan mengajari mereka bermain organ, aku memang cukup lihai memainkannya. Walau dengan keyboard tua mareka sangat antusias mempelajarinya.
* * *
Hari – hari ku lewati dengan mengabdikan diriku untuk mengajar, memang sedikit hasilnya tapi aku cukup menikmatinya.Walau perlu perjuangan ekstra untuk mencapai Sekolah itu.

Hari ini ku ajak anak didikku untuk melukis keindahan alam sekitar, ku ajak mereka ke kebun teh sebelah sekolah kami. Semangat mereka terlihan ketika ku sampaikan rencanaku yang mereka sambut dengan bersorak ria.

Ku amati mereka, hasilnya cukup bagus untuk anak pemula hingga tiba – tiba aku dikagetkan oleh banyak wartawan yang tiba – tiba datang menemukanku, langsung saja mereka menghujaniku dengan berbagai pertanyaan,
“ Mbak Shally, kenapa mbak meninggalakan dunia entertaint?”
“ Nggak papa ya...,”
“ Mbak Shally, apa ini ada hubungannya dengan teror itu?”
“ Maaf, sekali lagi maaf. Kasihan murid – murid saya..”

Ku tinggalkan mereka dengan berlari menuju ke sekolah, tapi mengapa dengan tiba – tiba , Dor, sebuah tembakan yang aku merasa benar – benar di tujukan padaku. Tapi untuk saja meleset dan akhirnya ku pingsan.

Ku buka mataku, ternyata ku berada di rumahku, ku berlari keluar ku lihat peneror itu beradu tembak dengan polisi. Setelah beberapa kali mencoba melawan, peneror yang sempat membuat kualahan para polisi itu berhasil di tembak, yang di takdirkan menghembuskan nafas terakhirnya saat ini juga.

Ku tersenyum lega, tapi tiba – tiba ku dengar jeritan tangis dari seorang warga, ternyata seorang siswi ku terkena tembakan dan akhirnya meninggal dunia. Tak dapat ku tahan tangisku yang meledak, keluarga korban memang sangat tabah, mereka menerima nasib tragis putrinya itu.

Setelah acara pemakaman yang di hadiri banyak orang yang sedih seakan kehilangan pahlawan yang sangat berjasa mewarnai acara pemakaman aku memutuskan seluruh biaya mulai mdari perawatan jenazah hingga selamatanpun ku tanggung, karena ku merasa akulah orang yang paling bertanggung jawab atas insiden ini.
* * *
Aku mulai lagi aktifitasku, aku merasa lebih baik dari sebelumnya bersama siswa – siswiku. Aku kembali mendapatkan kebahagiaan, keluargaku menerimaku kembali. Ku rasakan kedamaian yang lebih di banding waktu aku masih berlenggak lenggok di catwalk dulu, dan tak lupa ku sempatkan untuk menengok makam siswiku itu.

Jumat, 26 Februari 2010

LIVE

Live is struggle
The struggle don't be finish
Until the die come
So,Fighting for your life
Reach for the best
So that,you are never regret it
In your old , You'll be able to get happiness